------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah pada tulisan terdahulu saya menyampaikan mengenai keterkaitan ekonomi kreatif dengan pariwisata (Silahkan baca disini). Nah sekarang giliran saya untuk menyampaikan gagasan saya mengenai konsep pengembangan pariwisata yang berbasiskan pengembangan ekonomi kreatif, khususnya untuk penerapannya di Kota/Kabupaten Sukabumi tercinta.
Makalah saya ini sudah pernah disampaikan pada saat audiensi pengurus BUMI KREATIF (Sukabumi Creative Association) dengan jajaran Pejabat Dinas Porabud dan Pariwisata Kota Sukabumi, 12 Januari 2011.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pendahuluan
Kreatifitas merupakan modal utama dalam menghadapi tantangan global. Bentuk-bentuk ekonomi kreatif selalu tampil dengan nilai tambah yang khas, menciptakan “pasar”nya sendiri, dan berhasil menyerap tenaga kerja serta pemasukan ekonomis. Departemen Pedagangan Republik Indonesia memanfaatkan momentum ini dengan menyusun Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009 – 2015. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif, diperlukan sejumlah SDM yang berkualitas dengan daya inovatif dan kreativitas yang tinggi. Namun, di samping kebutuhan akan SDM yang berualitas, pengembangan ekonomi kreatif juga membutuhkan ruang atau wadah sebagai tempat penggalian ide, berkarya, sekaligus aktualisasi diri dan ide-ide kratif. Di negara-negara maju, pebentukan ruang-ruang kreatif tersebut telah mengarah pada kota kreatif (creative city) yang berbasis pada penciptaan suasana yang kondusif bagi komunitas sehingga dapat mengakomodasi kreativitas. Kota-kota di Indonesia, dengan sejumlah keunikannya, memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kota-kota kreatif.
Pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan seiring dengan pengembangan wisata. Kota-kota wisata di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Lombok, sebenrnya telah memiliki ruang kreatif, yaitu zona-zona wisata itu sendiri. Atraksi wisata dapat menjadi sumber ide-ide keatif yang tidak akan pernah habis untuk dikembangkan. Proses kreativitas seperti pembuatan souvenir dapat menjadi atraksi wisata tersendiri yang memberikan nilai tambah. Sementara di sisi lain, pasar yang menyerap produk ekonomi kreatif telah tersedia, yaitu melalui turis atau wisatawan yang berkunjunng ke obyek wisata.
Dr. Mari Elka Pangestu dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 menyebutkan beberapa alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan di Indonesia, antara lain :
Kreatifitas merupakan modal utama dalam menghadapi tantangan global. Bentuk-bentuk ekonomi kreatif selalu tampil dengan nilai tambah yang khas, menciptakan “pasar”nya sendiri, dan berhasil menyerap tenaga kerja serta pemasukan ekonomis. Departemen Pedagangan Republik Indonesia memanfaatkan momentum ini dengan menyusun Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009 – 2015. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif, diperlukan sejumlah SDM yang berkualitas dengan daya inovatif dan kreativitas yang tinggi. Namun, di samping kebutuhan akan SDM yang berualitas, pengembangan ekonomi kreatif juga membutuhkan ruang atau wadah sebagai tempat penggalian ide, berkarya, sekaligus aktualisasi diri dan ide-ide kratif. Di negara-negara maju, pebentukan ruang-ruang kreatif tersebut telah mengarah pada kota kreatif (creative city) yang berbasis pada penciptaan suasana yang kondusif bagi komunitas sehingga dapat mengakomodasi kreativitas. Kota-kota di Indonesia, dengan sejumlah keunikannya, memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kota-kota kreatif.
Pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan seiring dengan pengembangan wisata. Kota-kota wisata di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Lombok, sebenrnya telah memiliki ruang kreatif, yaitu zona-zona wisata itu sendiri. Atraksi wisata dapat menjadi sumber ide-ide keatif yang tidak akan pernah habis untuk dikembangkan. Proses kreativitas seperti pembuatan souvenir dapat menjadi atraksi wisata tersendiri yang memberikan nilai tambah. Sementara di sisi lain, pasar yang menyerap produk ekonomi kreatif telah tersedia, yaitu melalui turis atau wisatawan yang berkunjunng ke obyek wisata.
Dr. Mari Elka Pangestu dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 menyebutkan beberapa alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan di Indonesia, antara lain :
1. Memberikan kontibusi ekonomi yang signifikan
2. Menciptakan iklimbisnis yang positif
3. Membangun citra dan identitas bangsa
4. Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan
5. Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif
suatu bangsa
6. Memberikan dampak sosial yang positif
Salah satu alasan dari
pengembangan industri kreatif adalah adanya dampak positif yang akan
berpengaruh pada kehidupan sosial, iklim bisnis, peningkatan ekonomi, dan juga
berdampak para citra suatu kawasan tersebut.
Dalam konteks pengembangan ekonomi
kreatif pada kota-kota di Indonesia, industri kreatif lebih berpotensi untuk berkembang
pada kota-kota besar atau kota-kota yang telah “dikenal”. Hal ini terkait
dengan ketersediaan sumber daya manusia yang handal dan juga tersedianya
jaringan pemasaran yang lebih baik dibanding kota-kota kecil.
Namun demikian, hal itu tidak
menutup kemungkinan kota-kota kecil di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi
kreatif. Bagi kota-kota kecil, strategi pengembangan ekonomi kreatif dapat
dilakukan dengan memanfaatkan landmark kota
atau kegiatan sosial seperti festival sebagai venue untuk mengenalkan produk khas daerah (Susan, 2004). Salah
satu contoh yang cukup berhasil menerapkan strategi ini adalah Jember dengan
Jember Fashion Carnival. Festival yang digelar satu tahun sekali tersebut mampu
menarik sejumlah turis untuk berkunjung dan melihat potensi industri kreatif
yang ada di Jember.
Bertolak dari kasus Jember dengan Jember Fashion
Carnival, sejatinya sejumlah kota di Indonesia berpotensi untuk mengembangkan
ekonomi kreatif. Sebuah kota dapat merepresentasikan budayanya melalui
cara-cara yang unik, inovatif, dan kreatif. Pada gilirannya, pengembangan
ekonomi kreatif tersebut juga akan berdampak pada perbaikan lingkungan kota,
baik secara estetis ataupun kualitas lingkungan.
Ekonomi Kreatif dan Pengembangan
Wisata
Pariwisata didefinisikan sebagai
aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal
semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah
melainkan hanya untuk bersenang senang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan
waktu senggang atau waktu libur serta tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009).
Untuk mengembangkan kegiatan
wisata, daerah tujuan wisata setidaknya harus memiliki komponen-komponen
sebagai berikut (UNESCO, 2009) :
- Obyek/atraksi dan daya tarik wisata
- Transportasi dan infrastruktur
- Akomodasi (tempat menginap)
- Usaha makanan dan minuman
- Jasa pendukung lainnya (hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro perjalanan yang mengatur perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa pemandu, kantor pos, bank, sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat penjualan pulsa, salon, dll)
Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Indonesia sebelumnya telah menetapkan program yang disebut dengan
Sapta Pesona. Sapta Pesona mencakup 7 aspek yang harus diterapkan untuk memberikan
pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di
daerah kita. Program Sapta Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang
menyatakan bahwa setidaknya 6 aspek dari tujuh Sapta Pesona harus dimiliki oleh
sebuah daerah tujuan wisata untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali
ke tempat wisata, yaitu: Aman; Tertib; Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan
Ekonomi kreatif dan sektor wisata
merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola
dengan baik (Ooi, 2006). Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga
faktor, yaitu harus ada something to see,
something to do, dan something to buy
(Yoeti, 1985). Something to see terkait
dengan atraksi di daerah tujuan wisata, something
to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait dengan souvenir
khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi\ wisatawan. Dalam
tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy dengan menciptakan
produk-produk inovatif khas daerah.
Pada era tradisional, souvenir
yang berupa memorabilia hanya terbatas pada foto polaroid yang menampilkan foto
sang wisatawan di suatu obyek wisata tertentu. Seiring dengan kemajuan tekonologi
dan perubahan paradigma wisata dari sekedar “melihat” menjadi “merasakan
pengalaman baru”, maka produk-produk kreatif melalui sektor wisata mempunyai
potensi yang lebih besar untuk dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak hanya masuk
melalui something to buy tetapi juga
mulai merambah something to do dan something to see melalui paket-paket
wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan kebudayaan
lokal.
Dalam pengembangan ekonomi
kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan lebih lanjut oleh Yozcu dan İçöz (2010), kreativitas
akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif
yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding
dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa
lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas
untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk
kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan individual dan pengusaha
enterprise bersentuhan dengan sektor
budaya. Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian
budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Contoh
bentuk pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 : Bentuk Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor
Wisata
Wisata
|
Ekonomi Kreatif
|
1. Something to see
|
· Festival (contoh : Jember
Fashion Carnival)
· Proses kebudayaan (contoh :
pembuatan kerajinan batik)
|
2. Something to do
|
Wisatawan berlaku sebagai konsumen aktif, tidak hanya melihat atraksi dan
membeli souvenir tapi ikut serta dalam atraksi
|
3. Something to buy
|
Souvenir (handicraft atau memorabilia)
|
Sumber:
Yoeti, 1985 dan diolah
Potensi pengembangan ekonomi kreatif
sebagai penggerak sektor wisata di Indonesia masih belum dapat
diimplementasikan secara optimal. Salahsatu yang dikembangkan di Indonesia adalah
mengadopsi bentuk paket wisata tersebut ke dalam desa wisata. Hingga saat ini,
tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil yang
berhasil (dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala dan
meningkatkan ekonomi warganya). Fenomena banyaknya desa wisata di Indonesia
seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa
wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan. Kelemahan
terbesar dari konsep desa wisata selanjutnya adalah minimnya upaya promosi dan
tidak adanya link dengan industri
kreatif untuk produksi souvenir. Wisatawan hanya sekedar datang dan pulang
tanpa membawa sesuatu untuk dikenang (memorabilia) atau untuk dipromosikan pada
calon wisatawan lainnya.
Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa ekonomi kreatif dan sektor wisata pada sebagian besar kota-kota di
Indonesia berjalan secara terpisah. Masih kurangnya linkage antara ekonomi kreatif dan sektor wisata dapat terlihat
dari tiadanya tempat penjualan souvenir khas daerah. Kalaupun ada, tempat
penjualan souvenir dan souvenir yang dijual terkesan “biasa” saja, dan dapat
dengan mudah ditemukan di daerah lain. Atau, pada beberapa kasus, tempat
penjualan souvenir berlokasi terlalu jauh sehingga menjadi sebuah proyek yang
gagal mendatangkan lebih banyak wisatawan.
Pada hakikatnya, hampir sebagian
besar kota/kabupaten di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi
kreatif sebagai penggerak sektor wisata. Kota/kabupaten di Indonesia memiliki
daya tarik wisata yang berbeda untuk dapat diolah menjadi ekonomi kreatif. Termasuk
juga di Kota Sukabumi.
Potensi wisata yang ada dapat
dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak hanya
melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya yang berkualitas,
tetapi juga melibatkan unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship (kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam
ekonomi kreatif adalah bahwa birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga
menghasilkan (income generating)
dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992).
Strategi pengembangan ekonomi
kreatif sebagai penggerak sektor wisata dirumuskan sebagai berikut (Barringer) :
- Meningkatkan
peran seni dan budaya pariwisata
- Memperkuat
keberadaan kluster-kluster industri kreatif
- Mempersiapkan
sumber daya manusia yang kreatif
- Melakukan
pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi kreatif.
- Mengembangkan
pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar kluster-kluster
industri kreatif.
- Mengidentifikasi
kepemimpinan (leadership) untuk
menjaga keberlangsungan dari ekonomi kreatif, termasuk dengan melibatkan
unsur birokrasi sebagai bagian dari leadership
dan facilitator.
- Membangun
dan memperluas jaringan di seluruh sektor
- Mengembangkan
dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan kebijakan
terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata kepada
pengrajin. Pengrajin harus mengetahui apakah ada insentif bagi
pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika diperlukan.
Pengembangan ekonomi kreatif
sebagai penggerak sektor wisata memerlukan sinergi antar stakeholder yang
terlibat di dalamnya, yaitu pemerintah, cendekiawan, dan sektor swasta
(bisnis).
Sedangkan model pengembangan
ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat diadaptasi dari
model-model kota kreatif. Kota kreatif bertumpu pada kualitas sumber daya
manusia untuk membentuk (bisa dalam bentuk design
atau redesign) ruang-ruang
kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan ruang kreatif diperlukan untuk dapat
merangsang munculnya ide-ide kreatif, karena manusia yang ditempatkan dalam
lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan produk-produk kreatif bernilai
ekonomi. Festival budaya, merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang kreatif
yang sukses mendatangkan wisatawan.
Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif
bagi para pengrajin untuk dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang
tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa
menghasilkan karya adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio
sebagai ruang kreatif harus dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas
tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi
ekonomi kreatif, produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara
dari sektor wisata, wisatawan memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah
wisata tersebut. Konektivitas atau linkage
antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata. Dengan kata lain,
wisata menjadi venue bagi ekonomi
kreatif untuk proses produksi, didtribusi, sekaligus pemasaran. Seperti
dijelaskan pada Gambar 3.
Bagan Linkage Antara Ekonomi
Kreatif dan Sektor Wisata
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model
linkage tersebut adalah penetapan
lokasi outlet yang harus diusahakan
berada di tempat stratgis dan dekat dengan tempat wisata.
Pengembangan
Industri Kreatif untuk
mendukung Pariwisata Kota Sukabumi
Contoh Adaptasi Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata di Kota Sukabumi
Wisata
|
Ekonomi Kreatif
|
1. Something to see
|
PAP Cikundul
|
2. Something to do
|
· Pemandian Air Panas
· Wisata Sungai
· Wisata Seni Pertunjukan
· Jual-Beli Mobil Second
· dll..
|
3. Something to buy
|
Souvenir :
· Kuliner khas Sukabumi
· Batik Sukabumi
· Kerajinan
· Mainan Anak-anak
· dll
|
Untuk mendukung pengembangan batik sukabumi misalnya sebagai bagian dari industri kreatif sekaligus penggerak wisata, perlu diciptakan linkage antara industri batik dan atraksi wisata Seni Kota Sukabumi. Outlet kerajinan batik sebaiknya diposisikan dekat dengan objek wisata, sehingga tercipta suatu sistem wisata; wisatawan berkunjung melihat atraksi wisata di objek wisata, makan di sekitar objek wisata, membeli oleh-oleh makanan khas, dilanjutkan dengan melihat sekaligus membeli batik Sukabumi sebagai souvenir.
Tantangan Pengembangan Ekonomi
Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata
Pengembangan ekonomi kreatif
sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat menjanjikan, namun tetap
memiliki sejumlah tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan keberlanjutan
industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata
cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan
produk-produk kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh
terjebak pada selera pasar karena dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan
produk (Syahram 2000). Ooi (2006), mengindentifikasi sejumlah tantangan
pengembangan sebagai berikut :
1. Kualitas poduk.
Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan
lebih berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup
banyak sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun
nilai khas dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut.
2. Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.
Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali n”mengkomersialisasikan”
ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan
sebagai atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan melibatkan komunitas lokal,
hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas
terdpat ruang-ruang sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan
pada wisatawan.
3. Manajemen ekonomi kreatif.
Dibutuhkan manajemen ekonomi kreatif yang baik, dengan
salah satu fungsinya menentukan ”guideline”
ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya tidak
dikembangkan
Kesimpulan
Sinergi antara ekonomi kreatif
dengan sektor wisata merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup
potensial untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk Kota Sukabumi. Untuk
mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dibutuhkan konektivitas,
yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk
kreatif di lokasi yang strategsi dan dekat dengan lokasi wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter
atau sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata. Outlet
kerajinan berupa counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat
wisata yang sudah popular seperti PAP Cikundul, Pusat
oleh-oleh Mochi Kaswari, dll.. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses
pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut (souvenir
sebagai memorabilia).
Setelah akses cukup
jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek ketrampilan SDM
perajin, akases teknologi dan financial atau permodalan. Sehingga peran
pemerintah, perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat dibutuhkan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Ooi, Can-Seng (2006). ”Tourism and the Creative Economy in
Singapore”
Pangestu, Mari Elka (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025”,
disampaikan dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang
diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8 Juni 2008
Yoeti, Oka A. (1985). Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung:
Angkasa
Yozcu,
Özen Kırant dan İçöz, Orhan (2010). “A
Model Proposal on the Use of Creative Tourism Experiences in Congress Tourism
and the Congress Marketing Mix”, PASOS,
Vol. 8(3) Special Issue 2010
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
terimakasih infonya, saya sedang mencari data tentang pengembangan industri kreatif untuk tulisan saya. kalau berkenan, silakan berkunjung balik :)
BalasHapusmakasih juga telah berkunjung.
HapusSemoga tulisannya bermampaat.
Saya udah berkunjung balik.
Postingnya sangat bermutu dan bisa mencerahkan..
Sebenarnya saya berencana untuk membuat karya tulis ilmiah tentang konsep desa binaan berbasis ekonomi reatif. Tapi saya belum menentukan memilih di sektor apa (yang saya tahu, ada 14 subsektor industri kreatif yang sudah dibuat oleh pemerintah). Dari tulisan ini dan beberapa tulisan Bapak yang sudah saya baca mengenai industri kreatif, sepertinya Bapak lebih cenderung kepada sektor pariwisata. bisa tolong dijelaskan Pak mengenai keunggulannya daripada yang lain. Terimakasih atas tanggapan dan jawabannya Pak
HapusSektor pariwisata dapat dijadikan sektor pengungkit guna menumbuhkembangkan sektor ekonomi kreatif yg 14 sektor itu (sekrang mau ditambah 1 yaitu kuliner). Dengan pariwisata yang berkembang maka produk-produk kreatif dapat ter-komerialisasikan (mempunyai nilai ekonomis).
HapusBegitupun sebaliknya, sektor-sektor ekonomi kreatif dapat membantu dalam mengembangkan potensi pariwisata suatu daerah. Contoh di Bali (dan daerah tujuan wisata lainnya)salahsatunya yang dijadikan daya tarik adalah cinderamata hasil industri kreatif, selain juga keindahan alam dan budaya.
Soal konsep desa binaan, saya sarankan untuk browsing mengenai desa wisata berbasis ekonomi kreatif. Yang saya tahu, itu masuk dalam program PNPM-Pariwisata yang dikelola oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
untuk membuat kosep desa wisata di tulisan saya, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan lagi Pak. Apakah saya harus membahas konsep ini secara global atau saya menunjuk satu daerah sebagai sampel untuk pembahasan, misalnya daerah bali.
BalasHapusKarena kalau saya bahas secara global, khawatir menjadi tidak fokus mengingat pariwisata di Indonesia ada bermacam-macam. tetapi kalau saya fokuskan pada satu daerah, nanti malah condong ke penelitian, padahal saya akan menulis sebuah karya tulis ilmiah, bukan hasil penelitia. bagaimana tanggapan Bapak atas hal ini?
Adinda bisa menuliskan tinjauan atas konsep desa wisata secara umum (konsep dasar,kelebihan, kelemahan,dll). Rujukan atas desa wisata tertentu hanya dijadikan untuk bahan referensi pembahasan konsep tersebut. Sehingga pembahasan konsepsi tdk mengawang-awang, tetapi ada landasan praktis yang empiris.
Hapus