Konsep Pengembangan Pariwisata Berbasis Ekonomi Kreatif

Senin, 19 Desember 2011

print this page
send email


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah pada tulisan terdahulu saya menyampaikan mengenai keterkaitan ekonomi kreatif dengan pariwisata (Silahkan baca disini). Nah sekarang giliran saya untuk menyampaikan gagasan saya mengenai konsep pengembangan pariwisata yang berbasiskan pengembangan ekonomi kreatif, khususnya untuk penerapannya di Kota/Kabupaten Sukabumi tercinta.
Makalah saya ini sudah pernah disampaikan pada saat audiensi pengurus BUMI KREATIF (Sukabumi Creative Association) dengan jajaran Pejabat Dinas Porabud dan Pariwisata Kota Sukabumi, 12 Januari 2011.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pendahuluan
Kreatifitas merupakan modal utama dalam menghadapi tantangan global. Bentuk-bentuk ekonomi kreatif selalu tampil dengan nilai tambah yang khas, menciptakan “pasar”nya sendiri, dan berhasil menyerap tenaga kerja serta pemasukan ekonomis. Departemen Pedagangan Republik Indonesia memanfaatkan momentum ini dengan menyusun Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009 – 2015. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif, diperlukan sejumlah SDM yang berkualitas dengan daya inovatif dan kreativitas yang tinggi. Namun, di samping kebutuhan akan SDM yang berualitas, pengembangan ekonomi kreatif juga membutuhkan ruang atau wadah sebagai tempat penggalian ide, berkarya, sekaligus aktualisasi diri dan ide-ide kratif. Di negara-negara maju, pebentukan ruang-ruang kreatif tersebut telah mengarah pada kota kreatif (creative city) yang berbasis pada penciptaan suasana yang kondusif bagi komunitas sehingga dapat mengakomodasi kreativitas. Kota-kota di Indonesia, dengan sejumlah keunikannya, memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kota-kota kreatif.


Pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan seiring dengan pengembangan wisata. Kota-kota wisata di Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, dan Lombok, sebenrnya telah memiliki ruang kreatif, yaitu zona-zona wisata itu sendiri. Atraksi wisata dapat menjadi sumber ide-ide keatif yang tidak akan pernah habis untuk dikembangkan. Proses kreativitas seperti pembuatan souvenir dapat menjadi atraksi wisata tersendiri yang memberikan nilai tambah. Sementara di sisi lain, pasar yang menyerap produk ekonomi kreatif telah tersedia, yaitu melalui turis atau wisatawan yang berkunjunng ke obyek wisata.


Dr. Mari Elka Pangestu dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 menyebutkan beberapa alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan di Indonesia, antara lain :
1.       Memberikan kontibusi ekonomi yang signifikan
2.       Menciptakan iklimbisnis yang positif
3.       Membangun citra dan identitas bangsa
4.       Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan
5.       Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa
6.       Memberikan dampak sosial yang positif

Salah satu alasan dari pengembangan industri kreatif adalah adanya dampak positif yang akan berpengaruh pada kehidupan sosial, iklim bisnis, peningkatan ekonomi, dan juga berdampak para citra suatu kawasan tersebut.

Dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif pada kota-kota di Indonesia, industri kreatif lebih berpotensi untuk berkembang pada kota-kota besar atau kota-kota yang telah “dikenal”. Hal ini terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia yang handal dan juga tersedianya jaringan pemasaran yang lebih baik dibanding kota-kota kecil.

Namun demikian, hal itu tidak menutup kemungkinan kota-kota kecil di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Bagi kota-kota kecil, strategi pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan dengan memanfaatkan landmark kota atau kegiatan sosial seperti festival sebagai venue untuk mengenalkan produk khas daerah (Susan, 2004). Salah satu contoh yang cukup berhasil menerapkan strategi ini adalah Jember dengan Jember Fashion Carnival. Festival yang digelar satu tahun sekali tersebut mampu menarik sejumlah turis untuk berkunjung dan melihat potensi industri kreatif yang ada di Jember.

Bertolak dari kasus Jember dengan Jember Fashion Carnival, sejatinya sejumlah kota di Indonesia berpotensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Sebuah kota dapat merepresentasikan budayanya melalui cara-cara yang unik, inovatif, dan kreatif. Pada gilirannya, pengembangan ekonomi kreatif tersebut juga akan berdampak pada perbaikan lingkungan kota, baik secara estetis ataupun kualitas lingkungan.

Ekonomi Kreatif dan Pengembangan Wisata
Pariwisata didefinisikan sebagai aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk bersenang senang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau waktu libur serta tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009).

Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah tujuan wisata setidaknya harus memiliki komponen-komponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) :
  1. Obyek/atraksi dan daya tarik wisata
  2. Transportasi dan infrastruktur
  3. Akomodasi (tempat menginap)
  4. Usaha makanan dan minuman
  5. Jasa pendukung lainnya (hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro perjalanan yang mengatur perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa pemandu, kantor pos, bank, sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat penjualan pulsa, salon, dll)
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia sebelumnya telah menetapkan program yang disebut dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona mencakup 7 aspek yang harus diterapkan untuk memberikan pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di daerah kita. Program Sapta Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang menyatakan bahwa setidaknya 6 aspek dari tujuh Sapta Pesona harus dimiliki oleh sebuah daerah tujuan wisata untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali ke tempat wisata, yaitu: Aman; Tertib; Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan

Ekonomi kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006). Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1985). Something to see terkait dengan atraksi di daerah tujuan wisata, something to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara something to buy terkait dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata sebagai memorabilia pribadi\ wisatawan. Dalam tiga komponen tersebut, ekonomi kreatif dapat masuk melalui something to buy dengan menciptakan produk-produk inovatif khas daerah.

Pada era tradisional, souvenir yang berupa memorabilia hanya terbatas pada foto polaroid yang menampilkan foto sang wisatawan di suatu obyek wisata tertentu. Seiring dengan kemajuan tekonologi dan perubahan paradigma wisata dari sekedar “melihat” menjadi “merasakan pengalaman baru”, maka produk-produk kreatif melalui sektor wisata mempunyai potensi yang lebih besar untuk dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak hanya masuk melalui something to buy tetapi juga mulai merambah something to do dan something to see melalui paket-paket wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan kebudayaan lokal.

Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan lebih lanjut oleh Yozcu dan İçöz (2010), kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian dibawa pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut secara tidak langsung akan melibatkan individual dan pengusaha enterprise bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata. Contoh bentuk pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 : Bentuk Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata
Wisata
Ekonomi Kreatif
1. Something to see
· Festival (contoh : Jember Fashion Carnival)
· Proses kebudayaan (contoh : pembuatan kerajinan batik)
2. Something to do
Wisatawan berlaku sebagai konsumen aktif, tidak hanya melihat atraksi dan membeli souvenir tapi ikut serta dalam atraksi
3. Something to buy
Souvenir (handicraft atau memorabilia)
Sumber: Yoeti, 1985 dan diolah

Potensi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata di Indonesia masih belum dapat diimplementasikan secara optimal. Salahsatu yang dikembangkan di Indonesia adalah mengadopsi bentuk paket wisata tersebut ke dalam desa wisata. Hingga saat ini, tercatat banyak desa wisata yang bermunculan namun hanya sebagian kecil yang berhasil (dalam arti sanggup mendatangkan wisatawan secara berkala dan meningkatkan ekonomi warganya). Fenomena banyaknya desa wisata di Indonesia seringkali terjadi bukan sebagai bentuk kreatifitas, tetapi lebih pada prestige. Sangat sering ditemui desa wisata yang infrastrukturnya tidak siap untuk dikunjungi wisatawan. Kelemahan terbesar dari konsep desa wisata selanjutnya adalah minimnya upaya promosi dan tidak adanya link dengan industri kreatif untuk produksi souvenir. Wisatawan hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa sesuatu untuk dikenang (memorabilia) atau untuk dipromosikan pada calon wisatawan lainnya.

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa ekonomi kreatif dan sektor wisata pada sebagian besar kota-kota di Indonesia berjalan secara terpisah. Masih kurangnya linkage antara ekonomi kreatif dan sektor wisata dapat terlihat dari tiadanya tempat penjualan souvenir khas daerah. Kalaupun ada, tempat penjualan souvenir dan souvenir yang dijual terkesan “biasa” saja, dan dapat dengan mudah ditemukan di daerah lain. Atau, pada beberapa kasus, tempat penjualan souvenir berlokasi terlalu jauh sehingga menjadi sebuah proyek yang gagal mendatangkan lebih banyak wisatawan.

Pada hakikatnya, hampir sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata. Kota/kabupaten di Indonesia memiliki daya tarik wisata yang berbeda untuk dapat diolah menjadi ekonomi kreatif. Termasuk juga di Kota Sukabumi.

Potensi wisata yang ada dapat dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif di sini tidak hanya melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya yang berkualitas, tetapi juga melibatkan unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship (kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi kreatif adalah bahwa birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating) dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992).

Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dirumuskan sebagai berikut (Barringer) :

  1. Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata
  2. Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif
  3. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif
  4. Melakukan pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi kreatif.
  5. Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar kluster-kluster industri kreatif.
  6. Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) untuk menjaga keberlangsungan dari ekonomi kreatif, termasuk dengan melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian dari leadership dan facilitator.
  7. Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor
  8. Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata kepada pengrajin. Pengrajin harus mengetahui apakah ada insentif bagi pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika diperlukan.


 Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak Sektor Wisata
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata memerlukan sinergi antar stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu pemerintah, cendekiawan, dan sektor swasta (bisnis).

Sedangkan model pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat diadaptasi dari model-model kota kreatif. Kota kreatif bertumpu pada kualitas sumber daya manusia untuk membentuk (bisa dalam bentuk design atau redesign) ruang-ruang kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan ruang kreatif diperlukan untuk dapat merangsang munculnya ide-ide kreatif, karena manusia yang ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan produk-produk kreatif bernilai ekonomi. Festival budaya, merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang kreatif yang sukses mendatangkan wisatawan.

Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya adalah bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif harus dihubungkan dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas tersebut diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi ekonomi kreatif, produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara dari sektor wisata, wisatawan memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah wisata tersebut. Konektivitas atau linkage antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah wisata. Dengan kata lain, wisata menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi, didtribusi, sekaligus pemasaran. Seperti dijelaskan pada Gambar 3.


Bagan Linkage Antara Ekonomi Kreatif dan Sektor Wisata

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model linkage tersebut adalah penetapan lokasi outlet yang harus diusahakan berada di tempat stratgis dan dekat dengan tempat wisata.


Pengembangan Industri Kreatif untuk mendukung Pariwisata Kota Sukabumi

Contoh Adaptasi Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata di Kota Sukabumi
Wisata
Ekonomi Kreatif
1. Something to see
PAP Cikundul
2. Something to do
·     Pemandian Air Panas
·     Wisata Sungai
·     Wisata Seni Pertunjukan
·     Jual-Beli Mobil Second
·     dll..
3. Something to buy
Souvenir :
·     Kuliner khas Sukabumi
·     Batik Sukabumi
·     Kerajinan
·     Mainan Anak-anak
·     dll


Untuk mendukung pengembangan batik sukabumi misalnya sebagai bagian dari industri kreatif sekaligus penggerak wisata, perlu diciptakan linkage antara industri batik dan atraksi wisata Seni Kota Sukabumi. Outlet kerajinan batik sebaiknya diposisikan dekat dengan objek wisata, sehingga tercipta suatu sistem wisata; wisatawan berkunjung melihat atraksi wisata di objek wisata, makan di sekitar objek wisata, membeli oleh-oleh makanan khas, dilanjutkan dengan melihat sekaligus membeli batik Sukabumi sebagai souvenir.  

Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai Penggerak Sektor Wisata
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan keberlanjutan industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan produk-produk kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar karena dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram 2000). Ooi (2006), mengindentifikasi sejumlah tantangan pengembangan sebagai berikut :
1.       Kualitas poduk.
Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan lebih berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun nilai khas dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut.
2.       Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.
Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali n”mengkomersialisasikan” ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan sebagai atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas terdpat ruang-ruang sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan.
3.       Manajemen ekonomi kreatif.
Dibutuhkan manajemen ekonomi kreatif yang baik, dengan salah satu fungsinya menentukan ”guideline” ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya tidak dikembangkan


Kesimpulan
Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor wisata merupakan sebuah model pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk Kota Sukabumi. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dibutuhkan konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi yang strategsi dan dekat dengan lokasi wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter atau sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata. Outlet kerajinan berupa counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata yang sudah popular seperti PAP Cikundul, Pusat oleh-oleh Mochi Kaswari, dll.. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta dalam proses pembuatan tersebut (souvenir sebagai memorabilia).

Setelah akses cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek ketrampilan SDM perajin, akases teknologi dan financial atau permodalan. Sehingga peran pemerintah, perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat dibutuhkan.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Ooi, Can-Seng (2006). ”Tourism and the Creative Economy in Singapore
Pangestu, Mari Elka (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025”, disampaikan dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8 Juni 2008
Yoeti, Oka A. (1985). Pengantar Ilmu Pariwisata, Bandung: Angkasa
Yozcu, Özen Kırant dan İçöz, Orhan (2010). “A Model Proposal on the Use of Creative Tourism Experiences in Congress Tourism and the Congress Marketing Mix”, PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

6 komentar:

  1. terimakasih infonya, saya sedang mencari data tentang pengembangan industri kreatif untuk tulisan saya. kalau berkenan, silakan berkunjung balik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih juga telah berkunjung.
      Semoga tulisannya bermampaat.
      Saya udah berkunjung balik.
      Postingnya sangat bermutu dan bisa mencerahkan..

      Hapus
    2. Sebenarnya saya berencana untuk membuat karya tulis ilmiah tentang konsep desa binaan berbasis ekonomi reatif. Tapi saya belum menentukan memilih di sektor apa (yang saya tahu, ada 14 subsektor industri kreatif yang sudah dibuat oleh pemerintah). Dari tulisan ini dan beberapa tulisan Bapak yang sudah saya baca mengenai industri kreatif, sepertinya Bapak lebih cenderung kepada sektor pariwisata. bisa tolong dijelaskan Pak mengenai keunggulannya daripada yang lain. Terimakasih atas tanggapan dan jawabannya Pak

      Hapus
    3. Sektor pariwisata dapat dijadikan sektor pengungkit guna menumbuhkembangkan sektor ekonomi kreatif yg 14 sektor itu (sekrang mau ditambah 1 yaitu kuliner). Dengan pariwisata yang berkembang maka produk-produk kreatif dapat ter-komerialisasikan (mempunyai nilai ekonomis).
      Begitupun sebaliknya, sektor-sektor ekonomi kreatif dapat membantu dalam mengembangkan potensi pariwisata suatu daerah. Contoh di Bali (dan daerah tujuan wisata lainnya)salahsatunya yang dijadikan daya tarik adalah cinderamata hasil industri kreatif, selain juga keindahan alam dan budaya.
      Soal konsep desa binaan, saya sarankan untuk browsing mengenai desa wisata berbasis ekonomi kreatif. Yang saya tahu, itu masuk dalam program PNPM-Pariwisata yang dikelola oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

      Hapus
  2. untuk membuat kosep desa wisata di tulisan saya, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan lagi Pak. Apakah saya harus membahas konsep ini secara global atau saya menunjuk satu daerah sebagai sampel untuk pembahasan, misalnya daerah bali.
    Karena kalau saya bahas secara global, khawatir menjadi tidak fokus mengingat pariwisata di Indonesia ada bermacam-macam. tetapi kalau saya fokuskan pada satu daerah, nanti malah condong ke penelitian, padahal saya akan menulis sebuah karya tulis ilmiah, bukan hasil penelitia. bagaimana tanggapan Bapak atas hal ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Adinda bisa menuliskan tinjauan atas konsep desa wisata secara umum (konsep dasar,kelebihan, kelemahan,dll). Rujukan atas desa wisata tertentu hanya dijadikan untuk bahan referensi pembahasan konsep tersebut. Sehingga pembahasan konsepsi tdk mengawang-awang, tetapi ada landasan praktis yang empiris.

      Hapus